Monday, June 27, 2011

.::: Refleksi Peringatan Isra’-Mi’raj Dan Shalat Sebagai Media Pencerahan :::.

Reflections Warning Isra'-Ascension And Prayer For Enlightenment Media

Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambanya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsha, yang telah Kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian ayat Kami (QS. Al Isra’ [17] : 1)

Setiap memasuki bulan Rajab, umat Islam antusias memperingati perjalanan monumental Rasulullah dari Mekkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina (isra`) dan naiknya beliau ke langit (mi’raj) dalam rangka menerima risalah shalat lima waktu yang dilaksanakan umat Islam saat ini.( Baca Download Murotal Alquran & Download Alquran Digital )

Kesemarakan dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj terserbut sepertinya melupakan kontroversi perihal bagaimana Nabi Muhammad melakukannya; apakah dengan jasad atau hanya ruhnya saja? Memang persoalan ini tidak banyak diungkap secara lugas dan jelas. Biasanya para penceramah hanya menyinggung persoalan apakah perjalanan dengan jasad atau ruh itu sambil lalu. Itupun biasanya hanya merupakan penegasan bahwa perjalanan itu dengan jasad. Dalam arti, Nabi Muhammad-ketika melakukan isra’ dan mi’raj-benar-benar melakukannya dengan jasad (badan), karena hanya dengan itu, kedua peristiwa tersebut mempunyai makna yang luar biasa bagi orang yang beriman. Berbeda dengan jika hanya dipahami dengan ruh saja di mana nilainya tidak lebih dari sebuah mimpi.

Di kalangan ulama tafsir sendiri terjadi silang pendapat perihal itu yang disebabkan perbedaan cara pandangan terhadap kata, bi `abdihi dalam surah al-Isra` ayat 1. Ulama yang mendukung perjalanan dengan jasad (badan) berpendapat bahwa kata `abd (hamba) tidak bisa ditafsirkan dengan lain selain dengan sesuatu yang terdiri dari badan dan ruh. Oleh sebab itu, bagi penganut faham ini, penafsiran kata ‘abd dengan menambah ruh secara tersirat di depannya, bertentangan dengan sifat i`jaz (sifat keluarbiasaan) yang ingin ditunjukkan Allah melalui momentun itu. Dan, menurutnya, jika perjalanan hanya dengan ruh saja, tentunya kafir Quraisy tidak melakukan penentangan yang luar biasa, karena bagi mereka hal itu merupakan suatu yang mustahil. 

Sedangkan bagi golongan yang mengatakan dengan ruh saja (bi ruh ‘abdihi) tidak mungkin perjalanan itu dilakukan dengan jasad, karena ketidakmungkinan tadi. Dan mengenai anggapan pihak pertama yang mengatakan jika itu dilakukan dengan ruh akan mengurangi sifat i`jaz bukan suatu yang sangat mendasar, karena persoalan utamanya adalah iman kepada ajaran yang dibawa Nabi. Jadi persoalan utamanya adalah iman kepada apa yang dibawa Nabi bukan masalah bagaimana kedua momentum itu terlaksana. Sebab al-Quran tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai hal itu. Prof. Ahmad Baiquni, MSc., PhD (alm) sependapat dengan aliran kedua itu dan dalam hal ini sepertinya ia terinspirasi oleh buku Near-Dath Eexperience (Hidup Sesudah Mati) yang menceritakan perihal pengalaman orang-orang yang pernah mengalami mati suri. 

Terlepas dari persoalan kontroversi perihal bagaimana Nabi ber-Isra’ dan ber-Mi`raj, yang jelas hal itu bukan merupakan persoalan yang sangat esensial, karena persoalan sesungguhnya dalam kedua momen besar itu adalah perintah untuk menjalankan shalat. Semestinya, setiap kali umat Islam merayakan kedua peristiwa besar itu, mengevaluasi apakah shalat-shalat sebelumnya telah memenuhi tuntutan Nabi Muhammad.

Pada masa sekarang, fenomena keagamaan memang semarak yang ditandai dengan antusiasmenya masyarakat dalam mengikuti acara-acara yang berkaitan dengan agama, mulai dari tahajud bersama, zikir bersama, dan lainnya. Hanya saja, pada saat fenomena keagamaan itu meningkat, ada fenomena lain yang tidak kalah semaraknya, seperti semaraknya perjudian dan bentuk-bentuk kemasiatan lainnya. Semestinya, ketika fenomena keagamaan tersebut menggeliat menurunkan fenomena kemaksiatan tersebut. Dan, sesuai dengan fakta bahwa Indonesia dihuni oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas, pelaku-pelaku kemaksiatan tersebut mayoritasnya sudah pasti orang Islam juga. Adakah fenomena itu sejalan dengan keyakinan masyarakat saat ini bahwa manusia berkualitas saleh maka setan penggodanyapun akan setara dengannya, sehingga manakala fenomena keagamaan meningkat tandingannyapun akan semakin meningkat juga.

Memperhatikan hal itu, apakah karena pengaruh sekularisme atau karena kedangkalan pemahaman agama, saat ini sepertinya sudah berkembang opini bahwa agama hanya berkaitan dengan ibadah (shalat, haji, zakat, puasa, dan lainnya) sedangkan di luar itu merupakan persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya dengan agama. Opini tersebut jika tidak mendapatkan perhatian serius akan semakin memarjinalkan peran agama dalam lingkup rumah ibadah saja. Padahal, selaku umat Islam semestinya menghayati, firman Allah, “Sesungguhnya shalat (bisa) mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS, Al Ankabut [29]: 45). Akan tetapi, jika sesorang sudah rajin shalat, namun tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar, perlu dipertanyakan bagaimana ia melakukannya. 

Dalam rangka memberikan pemahaman yang benar mengenai bagaimana shalat semestinya dilakukan oleh setiap muslim, ulama memberikan distingsi antara pengertian ada’ atau ta’diyah dan pengetian iqamah yang dalam bahasa Indonesia masing-masing berarti menunaikan dan mendirikan. Kenapa persoalan pemilihan kosa kata Arab tersebut menjadi perhatian ulama dalam rangka memberikan pemahaman yang benar, karena secara filosofis kedua kata tersebut mempunyai implikasi berbeda. Kata ada’ dan ta`diyah lebih banyak berorientasi kepada aspek formal saja, sedangkan iqamah selain menekankan pelaksanaan aspek formal yang benar, aspek isoteris dalam shalat mesti mendapatkan perhatian yang serius dari seorang mushalli agar shalat yang dilakukannya benar-benar memberikan pencerahan kepada pelakunya sehingga tujuan dari shalat sebagaimana disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut benar-benar bisa terwujud. Oleh sebab itu, berkaitan dengan pemenuhan kewajiban shalat-di samping nas mereferensi penggunaan kata iqamah ulama juga menggunakan kosa kata serupa dalam penjelasan mereka agar umat Islam dalam melakukan rukun Islam ke dua itu tidak semata-mata memenuhi kewajiban, tapi sebagai kebutuhan untuk pencerahan jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, Hanya dengan berzikir hati menjadi tenang? Dan, shalat sebagai bentuk zikir tertinggi semestinya berdampak kepada hal itu. Dalam rangka menuju kepada maksud tersebut. Mahmud Muhammad Thaha, setelah mengutip hadis Nabi yang maksudnya bahwa shalat bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan membuka mata hati pelakunya, mengatakan, Maknailah shalatmu!

Menurut Mahmud Muhammad Thaha, dalam kitabnya Risalah al-Shalah (Terjemahan LKIS: Shalat Perdamaian), shalat merupakan sebuah metode jika dilakukan secara berulang-berulang, akan dapat melihat ke dalam diri, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya. Hal itu, karena kita hidup berdampingan dengan alam lahir tenggelam dalam angan-angan indera kita, terlena dengan itu semua sehingga melupakan hakekat yang terpusat di balik yang ditutupinya. Allah menjadikan alam lahir sebagai petunjuk bagi hakekat tersebut, bukan sebagai penggantinya. Oleh sebab itu, umat Islam wajib memperhatikan sarana itu, agar tetap terjaga guna mengingat Allah. Bukankah Nabi pernah bersabda, Manusia itu tidur, apabila mati, barulah mereka terjaga? Untuk menjaga manusia agar senantiasa terjaga dari lupa dan kesalahan adalah dengan mengingat Allah, dan shalat merupakan salah satu metode sekaligus yang utama untuk itu. Berkaitan dengan itu, menurutnya sangat penting bagi umat Islam untuk mencapai tingkatan shalat seorang muslim, bukan hanya sampai tingkatan shalat seorang mukmin. Apa perbedaan di antara shalat kedua golongan itu? Memperhatikan penjelasannya dalan bukunya, terlepas dari maksud khususnya yang diinginkannya dari pemberian istilah mukmin dan muslim, apa yang dimaksud dengan shalat seorang mukmin adalah orang-orang yang melakukan shalat sekedar memenuhi kewajiban semata, sedangkan yang dimaksud seorang muslim adalah orang-orang ketika mendirikan shalat memenuhi kriteria ihsan, yaitu mereka ketika beribadah seakan melihat Allah, meskipun ia tidak melihat-Nya, tapi yakin bahwa Allah melihat mereka. Dengan kata lain, dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha, shalat mukmin baru sampai taraf ada’ atau ta’diyah sedangkan shalat muslim adalah sudah sampai kepada taraf iqamah. Jenis shalat yang terakhir itulah-menurutnya-yang akan memberikan pencerahan kepada pelakunya seperti yang disebut dalam surah Al Ankabut : 45 tersebut. 

Oleh sebab itu, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj pada bulan Rajab ini, semestinya dijadikan evaluasi bagi setiap muslim dalam melaksanakan perintah shalat. Apakah shalat yang dilakukan berdampak kepada ketenangan jiwa dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika hal itu tidak dilakukan, kesemarakan peringatan Isra’-Mi’raj hanya akan melahirkan budaya konsumtif dan menguntungkan sedikit peceramah saja. Sedangkan shalat sebagai media pencerahan jiwa diabaikan.

source http://fakta-dan-unik.blogspot.com & http://teguhtriharto.blogspot.com